kedai estetik
berbahasa dengan jujur

Irianto Ibrahim


Irianto IbrahimLahir di Gu-Buton, 21 Oktober 1978. Perkenalannya di dunia sastra dan teater sejak bergabung di Teater Sendiri Kendari tahun 1997. Puisinya dimuat dalam antologi bersama Malam Bulan Puisi (kumpulan sajak teater sendiri), Sendiri 3 (kumpulan sajak teater sendiri) Ragam Jejak Sunyi Tsunami (Kantor Bahasa Medan). Kumpulan Sajak tunggalnya terbit untuk kalangan sendiri yaitu Barasanji di Tengah Karang (2004); Bunda, Kirimkan Nanda Doa-Doa (2006); Yang Tak Pernah Selesai (2007). Semasa mahasiswa mendirikan Pekerja Puisi Sultra (eksis). Kemudian mendirikan Komunitas Arus, ruang baca, teater dan kedai buku, sebuah ruang diskusi dan pengkajian sastra dan teater di Kendari, Sulawesi Tenggara. Pernah menjadi peserta Program Penulisan Puisi Mastera di Samarinda.




BALI

: Rouffaer


gadis bertelanjang dada itu
sudah pergi sejak sore

di dalam senja
pada ombak yang ranum
ia pernah mengadu
memintal mimpi yang telah kau bawa pergi
sebab tak satupun janji kau titip di sana
tidak pada subak sawah yang hampir punah
tidak juga di deretan warung cenderamata yang merana

gadis bertelanjang dada itu
sudah pergi sejak sore

telah lelah ia menunggumu di pantai itu
di tangannya masih menggenggam air suci usai melasti
juga abu sisa kremasi tak tahu akan ia tabur kemana
sebab nyepi telah membuatmu abai
telah membawanya ke puncak nyeri

tapi sebelum semua cerita itu sampai kepadamu
gadis bertelanjang dada sudah pergi sejak sore
tak menoleh sedikitpun
tidak pada pura buram
tidak pada malam yang suram


Kendari, 2008

sumber biografi
sumber puisi



SEKANTONG LUKA DARI SEORANG IBU
: kepada ibu ainun kasim

Supaya dapat kau ceritakan pada mereka perihal dada yang terhimpit ini:

dada seorang ibu yang tak sempat melihatmu menangis atau sekedar tersedu, sebab baginya kaki-kaki kursi yang diinjakkan pada kuku-kuku kaki suaminya tak pernah benar-benar mengenal rasa sakit: oleh luka maupun kepergian yang dipaksakan. ia ingin mengutuki dirinya jadi batu atau serumpun pohonan bambu tempat putri tanah ini terlahir. ia ingin menjadi jembatan, tempat anak-anaknya menyeberangi cita-cita tanpa tangan kekar sang ayah, namun suara tertahan dari leher tercekik tak sempat memandunya berdoa.

di sebelah sana: di ujung pantai terjauh, ia melihat kapal-kapal mengibarkan layar dan memasang lampu-lampu. ia ingat putrinya yang minta kapal-kapalan. ia rabai riak selat yang tak sempat jadi gelombang: ia urungkan senyumnya. dadanya sesak. dada seorang ibu yang tak sanggup memberi: dada seorang ibu yang menyuruh anak-anaknya mengatup bibir mereka sebelum tersenyum. dada yang menampung sunyi nyanyian mantra para tetua adat.

di punggungnya, ribuan tanda tanya dipikulkan anak-anaknya. tanya yang melarangnya berbaring. tanya yang dijawab dengan tatapan mata berkilat-kilat. semacam perisai para tentara yang disarungkan pada tangan sebelah kiri, ia menutup mukanya. ia sembunyi dari desakan yang menghimpit. nafasnya tersengal, isaknya sesegukan. lalu dibasuhnya muka merahnya dengan darah suaminya. darah yang dicecerkan dua belas kendi jampi-jampi. darah dari lipatan perih dan airmata yang sekarang menyerah. darah yang kemudian hari akan ia larung ke laut banda. laut yang akan menenggelamkan suaranya.

bahkan mungkin, bila kau betah menyimak perih: mendefinisikan penistaan. ia seorang ibu yang tak dibolehkan mengucap tahlil saat pemakaman suaminya. yang meronta dan menangis, sambil mengintip dari kangkangan kaki kekar penggali kubur tanpa rasa iba di wajah mereka. ia bicara pada tanah yang tak bisa mendengar suaranya sendiri. ia inginkan pelukan seorang suami. pelukan terakhir yang ingin ia bingkai dengan pelepah pisang atau patahan ranting pohon jarak dari kuburan itu. ia, seorang ibu yang hanya memiliki sebatang pinsil untuk sketsa keluarga, dengan wajah suami yang sengaja akan disamarkan. satu hari nanti, bila mungkin kau bisa bercerita pada seorang yang lain, jangan bilang ia tak sempat meneteskan embun untuk bunga-bunga di halaman rumahnya. sebab seusai shalat subuh, saat para nelayan telah kembali ke dada istri-istrinya, ia masih khusyuk menciumi sobekan kafan yang tak sempat ia balut pada tubuh suaminya.

Kendari, 2009





klik link di bawah untuk melihat ulasan puisi:
MENENGOK SEJARAH BUTON LEWAT SEKANTONG LUKA DARI SEORANG IBU KARYA IRIANTO IBRAHIM PERSPEKTIF DIMENSI SOSIAL DAN SEJARAH
Oleh: Susi Susanti Idris (A1D1 09 031)
0 komentar:

Posting Komentar

Total Tayangan Halaman

Pengikut

Zona Kendari

Sign by Danasoft - Get Your Free Sign


Kedai Estetik : Berbahasa dengan jujur.

merupakan ruang publikasi Mahasiswa | Program Mata Kuliah kajian Puisi tahun 2010/2011 | Program Studi Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia | Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan | Universitas Haluoleo | Kendari Sulawesi Tenggara Indonesia.

facebook

Recent Comments kedai estetik